Pada tahun 1924 Residen Surabaya, WP
Hillen mendapat album kenangan yang berisi foto-foto gedung di Surabaya
pada masanya. Ini salah satu dari 70 foto (diambil tahun 1922 dan 1924)
yang ada dalam album berjudul “Memories of Surabaya” tersebut. Album
dapat di lihat lengkap di KITLV dengan memasukkan nomor album 19 di
advance search KITLV.
Kutipan artikel koran The Straits Times
diatas sekaligus memberi kita informasi penting mengenai kapan gedung
baru Siola ini ditempati dan dibuka yaitu tahun 1923.
Jika kita melihat koleksi foto-foto lama
Surabaya, ada satu kelompok foto yang menampilkan gedung-gedung di
Surabaya dengan sudut pengambilan yang profesional dan dapat diduga
diambil ketika gedung tersebut sudah tuntas dibangun dan akan
diresmikan. Gedung Siola ini pun memiliki foto tersebut, foto berikut
diduga kuat merupakan foto yang diambil ketika Toko Whiteaway Laidlaw
dibuka. Dengan melihat detil foto dimana toko dipasang poster dan
spanduk besar-besar dan kemudian membandingkan dengan foto dari album
Memories of Surabaya diatas yang menampilkan situasi toko dalam keadaan
“normal”, inilah foto pembukaan yang diambil van Ingen itu.
Foto dari KITLV dengan angka tahun
perkiraan 1910. Di foto ini Ingen melakukan editing dimana kabel listrik
dan tram dihapus demi keindahan (Tram listrik belum masuk tahun 1910!) .
Dengan artikel The Straits Times diatas kita boleh yakin bahwa KITLV
salah memasukan tahun foto. Bahkan tahun 1910 pun Whiteaway Laidlaw
belum masuk Hindia Belanda.
Perusahaan swasta Inggris ini baru
membuka cabang di Hindia Belanda tahun 1919 dan satu-satunya hanya di
Surabaya (makanya disebut Java Stores). Berikut adalah peta seluruh
jaringan toko serba ada Whiteaway Laidlaw di Dunia tahun 1925 dari buku
“The City in Southeast Asia: Pattern, Processes and Policy” (2009) by
Peter James Rimmer and Howard Dick. Teknologi Department Store ternyata
merupakan teknologi dagang yang baru muncul di pertengahan abad ke-19.
Whiteaway sendiri pertama kali didirikan Robert Laidlaw di Calcutta
tahun 1879.
Puncak kejayaan era Department Stores
ini berakhir dengan dimulainya Perang Dunia II. Whiteaway Laidlaw
kehilangan hampir seluruh tokonya: di Hong Kong dijarah tentara Jepang,
di Surabaya kena bom tentara Inggris, di Manila hancur total,
Kualalumpur dan Singapore juga dijarah Jepang. Di China dengan menangnya
komunis Whiteaway tidak bisa melanjutkan bisnisnya. Setelah perang
hanya di Hongkong dan Singapore yang bisa kembali bangkit. Itupun
menghadapi ancaman era baru retail : era Mall.
Sebelum Siola terkena bom, toko
Whiteaway diambil alih oleh Jepang dan tetap menjadi toko serba ada
dengan nama Chiyoda. Masa tiga setengah tahun yang penuh dengan
kesulitan itu sepertinya tidak mendukung usaha perdagangan, Jepang
sendiri mengarahkan semua sumber daya energinya untuk mencoba bertahan
menghadapi sekutu. Seperti juga semua usaha yang diambil alih Jepang,
pada masa ini tidak tersisa (atau memang tidak ada) catatan yang
melaporkan kinerja usaha.
Paska Jepang menyerah, Surabaya
mengalami fase pertempuran yang menentukan sejarah Indonesia. Sementara
kota lain menerima kembali kedatangan orang Belanda, Surabaya justru
berani melawan pemenang Perang Dunia II : sekutu yang diwakili Inggris.
Meskipun perjuangan arek Suroboyo terdesak mundur terus, dalam
perjalanan mundur inilah gedung Siola sempat menjadi titik pertahanan.
Alasan inilah Siola menjadi salah satu target bom tentara Inggris.
Berikut adalah situasi gedung Siola
tahun 1948 yang diambil ketika parade peringatan ulang tahun Putri
Juliana. Foto dari KITLV :
Berikut adalah foto dar buku H.W Dick Surabaya “City of Work: A Socioeconomic History, 1900 – 2000″ halaman 13.
“Arek-arek Suroboyo berpawai merayakan
Hari Pahlawan 10 November 1950, melewati jalan Tunjungan” (perhatikan
kondisi gedung eks Whiteaway Laidlaw atau Toko Chiyoda yang kemudian
menjadi Siola. Foto koleksi Arsip Nasional.
Siola baru dibuka kembali tahun 1964,
ketika lima pemodal bekerja sama untuk membuka kembali toko serba ada. S
– oemitro, I -ng Wibisono, O – ng, L – iem dan A- ang.
Seperti disebutkan dalam buku “The City
in Southeast Asia: Pattern, Processes and Policy” (2009) by Peter James
Rimmer and Howard Dick.
Sekarang, Gedung tersebut baru saja diresmikan oleh walikota Surabaya Tri Rismaharini sebagai museum Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar